Jumat, 28 Oktober 2011



Dalam badai. Kita bawa lentera. Tertawa lepas...
Yang bergerak. Kita tangkapi. Agar diam
Tertawa terbang tinggi. Kelam gigit sukma
Kita tabur benih di tanah berbatu
Lantas pergi sambil melata
Agar lengkap. Sekalian. Kita bawa hujan dan angin

¡§Lihat, langit yang biru itu. Sudah lama tidak lagi kusaksikan panorama yang indah ini. Sejak aku menetap di ibukota, yang kutemui tiap hari hanya langit yang kelabu. Penuh asap dan debu. Polusi menelan kota.....¡¨ kata seorang temanku yang baru datang dari ibukota. Aku pun menatap langit kota ini. Warna biru yang cerah. Warna biru yang kini menimbulkan perspektip baru dalam pandanganku.

Kita tidak pernah menghargai apa yang kita miliki sampai saat kita kehilangan dia. Saat kita masih dilingkupi dengan keasrian dan kehijauan alam, kejernihan dan birunya langit dan beningnya air yang mengalir di kali, kita seakan-akan melupakan semua keindahan itu. Kita hidup bersama perburuan cita-cita masa depan. Dan itu berupa materi yang terus menerus mengusik ambisi kita. Dahulu kita hidup bersama lingkungan yang alami dan karena itu kita tidak merasakan keberadaannya. Kita lupakan dia. Demi hasrat untuk memakmurkan keberadaan kita, segalanya kita hancurkan demi mengenyangkan kebanggaan kita. Tetapi kita melupakan bahwa materi mungkin dapat mengenyangkan tubuh dan kebanggaan kita namun tidak pernah dapat mengenyangkan jiwa kita. Apalagi masa depan kita. Setelah alam menjadi tandus, langit menjadi kelabu dan perairan menjadi suram, kita pun tertatih-tatih merindukannya. Sayangnya, merusak jauh lebih mudah daripada memperbaharui dan menghidupkannya kembali. Bahkan terbukti, tak ada lagi cara untuk mengembalikan apa yang telah musnah dari alam. Maka tinggallah kita menggigit jari saja. Kita telah kehilangan dia selamanya.

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (Kej 1:26). Demikianlah Allah telah memberi kita, sebagai manusia, hak kuasa atas segala isi bumi ini. Sayangnya bahwa hak kuasa itu kita jadikan sebagai hak milik sehingga kita tanpa sungkan rela menghabisi jenis kehidupan lain serta mengotori alam. Selayaknya hak kuasa itu tidak lebih dari hak untuk memanfaatkan disertai dengan kewajiban untuk melestarikan alam ini, melestarikan kehidupan bumi dan melestarikan cinta kasihNya kepada segala ciptaanNya. Bukankah kita dibentuk menurut gambar dan rupa Allah sendiri? Mengapakah kini kita menjalaninya dengan citra sang ular yang gemar menghancurkan kebahagiaan ciptaan lainnya, sama seperti ketika dia menghancurkan kebahagiaan manusia di taman Eden?

¡§Langit biru di atas, sungguh indah...¡¨ Tetapi sampai kapankah dia akan bertahan? Sampai bumi dipenuhi dengan deru mesin kendaraan dan cerobong pabrik yang dibangun demi kesukaan kita pada materi? Banyak hutan dan penghuninya yang kini hanya tinggal dalam dunia dongeng saja. Dan kehidupan kita pun kian ditelan jalan aspal dan terkungkung di balik tembok-tembok beton. Nafas kita kian tersengal-sengal di tengah udara yang berpolusi. Kita kian terkucil, kehilangan cinta dan hanya tinggal melata di atas tanah yang tandus. Kita telah menyerupai sang ular. Haruskah begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar